Bahtsu Masail, Kitab Klasik Sebagai Rujukan
MEMBACA NASKAH ARAB – Pemandu diskusi ala santri atau biasa disebut bahtsu masail, sedang membacakan teks
naskah Arab Gundul yang akan dibahas
secara bersama-sama, di sebuah masjid di Pesantren Al-Husna, Kecamatan
Pontianak Utara. Kegiatan tersebut guna membahasa materi Muktamar NU ke-33, di
Jombang, Agustus mendatang. UMAR FARUQ
Seorang pria berkopiah dan bersarung duduk
bersimpuh di depan beberapa orang lainnya, untuk membacakan lembar demi lembar
naskah yang bertuliskan Arab gundul,
pagi itu di sebuah masjid di area pesantren Al-Husna, Jalan Parit Nanas,
Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak, Minggu (26/7).
Gaya berpakaian yang khas dan melihat cara
membacanya, pria tersebut bisa dipastikan pernah nyantri lantaran membaca tulisan Arab tanpa harakat (tanda baca),
sangat lancar keluar dari lisannya.
Adalah Nuralam, Ketua Tanfidz Pengurus Cabang
Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pontianak, yang sedang membacakan tulisan Arab
tanpa harakat, di sebuah acara yang disebut bahtsu
masail.
“Tidak semua orang bisa membaca tulisan Arab, apalagi
tanpa harakat. Tentu sulit bagi mereka yang belum pernah belajar. Tapi bagi
santri terutama di pesantren salafi, hal itu bukanlah sesuatu yang sulit. Karena
para santri diajarkan ilmu alat yaitu nahwu
dan sharraf, guna membantu dalam belajar membaca tulisan Arab gundul,”ujar
Nuralam.
Kegiatan yang identik dengan diskusi atau
musyawarah ini, diselenggarakan oleh Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU Kota Pontianak, guna membahas
materi Muktamar NU ke-33, di Jombang, Jawa Timur, Agustus Mendatang.
Menurut Nuralam, yang membedakan diskusi pada
umunya dengan bahtsu masail yakni dalam menggunakan rujukan dan kondisi yang
berlangsung dalam forum tersebut.
“Kalau kita melihat, tidak jarang diskusi sering terjadi
debat kusir. Tapi kalau di bahtsu masail, itu jarang terjadi. Santri punya
etika dalam diskusi, tidak akan terjadi perdebatan karena rujukaannya sama,
yaitu kitab-kitab klasik karangan ulama Ahlussunnah
wal jamaah,” terangnya.
Bahtsu masail
menurut Nuralam, suatu kegiatan yang kerap dilakukan oleh orang-orang pesantren
dengan eksistensi yaitu memecahkan sebuah masalah baik itu yang sudah terungkap
dalam kitab salaf atau masalah-masalah kekinian yang belum terdeteksi hukumnya.
“Bahtsu Masail
adalah sejenis musyawarah atau diskusi dalam tataran yang lebih tinggi dan
kompleks karena melibatkan banyak delegasi dari berbagai kalangan. Kegiatan ini
sangat akrab di kalangan NU,” terangnya.
Ketua Lakpesdam NU Kota Pontianak Hasan Basri
menuturkan, kegiatan bahtsu masail ini bertujuan meningkatkan kualitas daya
pemikian santri dan menghidupkan lagi jejak ulama salaf dalam menyikapi setiap
permasalahan yang muncul di masyarakat.
“Selain itu, merumuskan pemecahan masail waqi'iyah
(masalah-masalah aktual) sesuai dengan tuntunan syara,” ujarnya.
Ditambahkannya, dalam tradisi NU secara kelembagaan
ada tiga macam model sistem bahtsu masail.
Pertama, model pesantren yang lebih menonjolkan
semangat itiradl, yaitu perdebatan argumentatif dengan berlandaskan al-kutub al-mu’tabaroh (kitab-kitab yang
perlu dijadikan itibar atau contoh).
“Dalam hal ini peserta bebas berpendapat,
menyanggah pendapat peserta lain dan juga diberikan kebebasan mengoreksi
rumusan-rumusan yang ditawarkan tim perumus,” jelasnya.
Kedua, lanjut Hasan, model ‘NU’. Dalam hal ini
lebih menonjolkan porsi itiradl, yaitu penampungan aspirasi jawaban sebanyak
mungkin.
“Yang ketiga model Kontemporer, yaitu bahtsul
masail yang dimodifikasi mirip model simposium. Di mana sebagaian peserta yang
dianggap mampu, diminta menuangkan rumusan jawaban berikut sumber pengambilan
keputusan, dalam bentuk makalah,” terangnya.
Hasan berharap, ke depan masyarakat dalam
berdiskusi hendaknya mengikuti metode yang diterapkan kaum santri, yakni bahtsu
masail. Di mana, memberikan pendapat mesti dilandasi rujukan dan di dalam
perbedaan tidak harus saling merasa paling benar.
“Bagi santri, berdiskusi itu punya etika dan
aturan. Lebih utamanya, berinteraksi untuk saling memberikan pemahaman dengan
cara yang baik. Tidak kemudian adu argumen akhirnya debat kusir. Santri punya
referensi yakni kitab-kitab klasik, dan dari sanalah pijakan untuk mengeluarkan
pendapat. Semoga kita bisa belajar caranya berdiskusi ala santri, yakni bahtsu
masail,” pungkasnya. (umar faruq)
0 Response to "Tradisi Diskusi Ala Santri"
Post a Comment