RITUAL
– Satu di antara tetua DAD Kota Pontianak,
Anus, memipin ritual adat Capa Molot. Ritual ini dilakukan lantaran terkait
fitnah atau menyebarkan berita bohong. Sehingga, mencemarkan nama baik
seseorang. UMAR FARUQ
Seorang pria tua menggunakan songkok
berhiaskan manik-manik yang terselip selembar daun juang, tampak khusuk membacakan
doa-doa. Di tangan kanannya, terdapat wadah kecil berisikan minyak sayur bercampur
beras, yang ia pegang. Wadah itulah yang dibacakannya dengan doa berbahasa
Dayak Kanayant.
Adalah Anus, satu di antara tetua Dewan
Adat Dayak (DAD) Kota Pontianak, memimpin sebuah ritual adat yang disebut Capa
Molot, di sekretariat Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP), di Jalan Purnama
1.
“Doa ini untuk ditujukan untuk kebaikan
kami. Selain itu, sesajinya dikhususkan ke makhluk gaib dan nanti akan
dibagikan ke pengurus adat,” ujarnya, Rabu (9/9)
Capa Molot adalah ritual adat yang
dilakukan lantaran terjadi fitnah atau mengabarkan berita bohong, sehingga
mencemarkan nama baik seseorang.
Jadi, jangan sekali-kali menyebarluaskan
berita bohong. Apalagi berita tersebut, akan berdampak pada orang lain. Sebagaimana
yang dialami oleh Supriadi, salah satu warga Gang Nilam Jalan Prof Hamka, Pontianak,
baru-baru ini.
Tidak terima difitnah dengan perbuatan
tidak menyenangkan oleh Supriadi, Stefanus Paiman melaporkannya ke pihak
kepolisian untuk dilakuakan proses sesuai hukum.
Sementara itu, sebagai orang yang memegang
teguh nilai-nilai adat, Stefanus meminta kepada DAD untuk dihukum adat.
“Ya, karena telah mencemarkan nama baik,
harus diproses sesuai hukum. Hukum adat juga diberlakukan,” kata Stefanus.
Dengan kesepakatan dari kedua belah
pihak, menurut Temenggung DAD, Natan Nail Lohon, pihak Supriadi bersedia melaksanakan
hukum adat, yakni Capa Molot.
“Supriadi dibebani untuk menyediakan
sesaji yang mesti ada dalam ritual ini. Tapi dia hanya memberikan uang. Dari uang
itu, kami belanjakan untuk membeli bahan sesaji,” terang Natan.
Berharap menjadi suatu pelajaran bagi orang
lain, maka hukum adat mesti dilaksanakan. Namun, ritual ini hanya berlaku bagi
masyarakat adat Dayak yang tersangkut masalah fitnah saja.
“Kalau orang lain, di luar Dayak, itu
tidak ada urusan. Ritual ini sebenasnya untuk pelajaran, agar jangan memfitnah
orang lain” katanya.
Satu di antara tetua adat lainnya, A
Amus, mengatakan bahwa ritual adat ini ada tata caranya. Tidak serta merta dihukum
adat.
“Tentu dibicarakan dulu. Kalau memamng
layak dihukum adat, maka akan diserahkan ke pasirah. Kalau tidak mampu, akan
diambil alih temenggung,” jelasnya.
A Amus menerangkan, pasirah memiliki
posisi di bawah temenggung. “Jadi, harus melalu tata cara. Tidak langsung
diadat. Tidak boleh asal-asalan yang melakukan adat. Ada orangnya,” sebutnya.
Dikatakan A Amus, pelaksanaan ritual
Capa Molot, berarti menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan mengakui
kesalahannya. Untuk itu, sebagai penghormatan kepada para leluhur, maka ritual
harus dijalankan.
“Walaupun yang bersangkutan tidak hadir,
ritual adat tetap bisa dilakukan,” tuturnya.
Menurut A Amus, di dalam masyarakat Dayak,
tidak ada pertentangan antara ritual adat dan agama. Oleh karena itu, jangan
sampai agama membuang adat.
“Adat yang ada ini, harus kita jaga,”
tuturnya. (umar faruq)
0 Response to "Ritual Adat Capa molot"
Post a Comment