Eco City, Konsep Kota Modern

Pembangunan di Kota Pontianak, Belum Ramah Lingkungan

PEMBANGUNAN – Pembangunan di Kota Pontianak dinilai belum berwawasan lingkungan. Beberapa kawasan yang dulunya ditumbuhi banyak pepohonan, sekarang sudah berubah menajdi gedung-gedung bertingkat. Satu di antaranya, showroom yang dibangun di antara Jalan Sultan Abdurrahman dan Jalan Sulawesi, Pontianak Selatan ini. UMAR FARUQ
Pepohonan mempunyai peranan penting dalam menanggulangi pencemaran udara dan air, terlebih untuk di daerah perkotaan. Di saat banyaknya daerah perkotaan menghadapi populasi, seiring dengan menjamurnya pembangunan, aktifitas perekonomian, dan penanggulanan emisi kendaraan yang berlebihan, keberadaan pepohonan dapat berfungsi sebagai paru-paru, filter air dan pendingin udara kota.
Sementara itu, di saat kota-kota besar berlomba-lomba menanggulangi permasalahan lingkungan dengan menerapkan kota berkelanjutan atau eco city, seperti di Kota Moreland di Australia, dengan program karbon menjadi netral. Atau di Kota Tokyo dengan kota ramah lingkungan. Dan untuk di Indonesia, aplikasi konsep eco city  mulai diterapkan di Kota Bandung sejak 2006, hingga terpilih sebagai salah satu proyek percontohan untuk Eco Town.
Namun pemandangan berbeda, dimana Kota Pontianak masih minim ruang hijau. Seandainya masih ada, lebih banyak hasil program formalitas belaka.
Satu di antara warga Kota Pontianak, Muthohir menyebutkan minimnya ruang terbuka hijau merupakan alasan Pontianak menjadi kota yang panas.
“Sangat minim sekali pepohonan. Wajar kalau Pontianak, kondisinya sangat panas,” ujar warga Siantan, Kecamatan Pontianak Utara ini, Senin (31/8).
Selama ini, lanjutnya, keberadaan kawasan hijau dirasa sangat penting. Pasalnya, seperti keberadaan hutan kota sangat berpengaruh atas kondisi sebuah daerah. Setidaknya ada 24 manfaat hutan kota. Di antaranya sebagai tempat pelestarian plasma nutfah, penyerap dan penyaring partikel padat di udara, pereda kebisingan, penyerap karbon monoksida dan dioksida serta penghasil oksigen.
“Ada kawasan di samping Jalan Sulawesi, dulunya di sana banyak pepohonan. Setiap kali melewati jalan itu, suasana sekitarnya nyaman. Tapi sekarang kok malah dibangun showroom? Mestinya kawasan seperti itu dipertahankan,” ucapnya.
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa dampak positif adanya pepohonan di daerah perkotaan dapat menjadi pendingin udara kota dengan kualitas udara yang baik.
Beberapa bulan lalu, melalui program Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan (EKUP) dari Kementerian Lingkungan Hidup, 2014 lalu, Kota Pontianak mendapatkan peringkat kedua dari lima kota besar di Indonesia dengan kualitas udara perkotaan terbaik.
Namun hal ini disangkal oleh Muthohir. Menurutnya, udara di Kota Pontianak belum layak dikatakan terbaik. Hampir setiap tahun, Pontianak langganan kabut asap.
“Kalau Kota Pontianak mendapatkan predikat seperti itu, aneh rasanya. Coba tunjukin di mana tempat umum dengan kulaitas udara terbaik di kota ini,” sanggah mahasiswa IAIN Pontianak ini.
Muthohir maklum, walaupun kabut asap yang melanda Kota Pontianak, berasal dari luar Pontianak, namun mestinya ada upaya yang dilakukan pemerintah kota dalam menanggulangi bencana tahunan ini.
“Memang sih seluruhnya bukan dari Pontianak, lebih banyak dari Kubu Raya. Kalau di Pontianak, asap muncul dari pembakaran Pontianak Utara,” bebernya.
Abaikan Hak Publik
Sementara itu, pegiat lingkungan Kalbar, Demanhuri mengomentari penerapan kota ramah lingkungan yang belum teraplikasi secara maksimal di Kota Pontianak.
Entitas kota sebagai tempat tinggal, katanya, perlu dimaknai sebagai tempat berinteraksinya berbagai ekosistem kehidupan.
“Ruang terbuka hijau, sungai dan lain sebagainya harusnya saling berhubungan. Karena, itu sebuah rantai kehidupan yang tak terpisahkan,” ujarnya.
Di dalam sebuah pembangunan, seringkali pemerintah memandang bahwa pembangunan merupakan pengejawantahan dari konsep pembangunan modern. Maka dari itu, tidak jarang program pembangunan didapati mengorbankan aspek lingkungan dan bahkan melanggar hak publik.
“Pemerintah juga harus memperhatikan hak warganya, di antaranya kebutuhan publik. Di dalam undang-undang, telah diwajibkan ketersediaan ruang terbuka hijau itu 35 persen. Dan itu tentu salah satunya berguna untuk kepentingan publik,” terangnya.
Di sisi lain, Kota Pontianak juga dikenal oleh khalayak ramai sebagai kota ‘Seribu Parit’. Dimana, hampir di setiap sudut kota ditemukan parit-parit yang menghubungkan antara kelurahan yang satu dengan yang lainnya.
Pada masa dahulu, kata Demanhuri, parit-parit di Kota Pontianak digunakan oleh masyarakat satu di antaranya sebagai sarana kegiatan perekonomian. Dulunya, parit di kota ini saling terkoneksi.
“Karena saling terhubung, dulunya warga berjualan atau berdagang dengan transportasi air, salah satunya melalui parit-parit. Namun saat ini, hal itu tidak dimungkinkan lagi, karena parit yang ada sudah tidak bisa digunakan sebagai jalur transportasi,” jelasnya.
Problematika tersebut sangatlah nyata. Hampir di setiap parit-parit, mengalami pendangkalan. Tentu sudah bisa ditebak, penyebabnya adalah pembangunan yang mengorbankan aspek lingkungan dan fasilitas umum.
Separah apapun perencanaan yang telah dilakukan Pemerintah Kota Pontianak, ada sesuatu yang mesti diapresiasi. Demanhuri menuturkan, beberapa program ruang publik telah dicoba dilakukan oleh Pemkot Pontianak. Di antaranya revitalisasi tepian Sungai Kapuas dan tempat wisata Tugu Khatulistiwa. “Tapi dari program itu, mesti jelas peruntukkannya. Ruang publik itu untuk apa?,” sebutnya.
Menilik konsep keberlanjutan kota, tolok ukurnya di antaranya pemerataan pembangunan. Bisa di lihat, di Kota Pontianak hanya daerah-daerah tertentu saja pembangunannya yang dijadikan prioritas.
“Pontianak bagian utara, hampir tak tersentuh pembangunan. Padahal, jika ingin Pontianak ini terus berkembang, daerah-daerah yang masih minim pembangunan harusnya jadi target. Coba kita lihat, kawasan Jalan Gajahmada, penuh dengan hotel. Akhirnya, pembangunan menumpuk di satu tempat,” pungkasnya. (umar faruq)

0 Response to "Eco City, Konsep Kota Modern"

Post a Comment