Pameran Potret Perempuan Dayak Kalbar

Tato dan Telinga Panjang, Manifestasi Budaya Leluhur


GAWAI DAYAK - Stand pameran berbagai karya budaya dan makanan khas yang terdapat di rumah adat Radakng di jalan Sutan Syahrir, Selasa(2/7). IST
 
Pesona perempuan bertelinga panjang dan bertato di beberapa foto berbingkai, menghipnotis sejumlah pengunjung di pameran fotografi perempuan pedalaman Kalimantan Barat, di Institut Seni Indonesia (ISI), Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (26/10).
Karya fotografi yang memukau itu ternyata hasil jepretan dara asal Kota Pontianak, Rizqi, yang merupakan mahasiswi Fakultas Seni Media Rekam ISI, dan tidak lama lagi akan diwisuda.
Suatu kebanggaan tersendiri bagi mahasiswi kelahiran 8 Januari 1989 ini. Dimana dia mengenalkan perempuan-perempuan sub suku Dayak dari tanah kelahirannya kepada banyak orang. Mulai dari Dayak Iban, Kanayatn, Desa dan Sungkung, berhasil dia foto.
“Itu karya saya di tahun 2014,” ujarnya.
Rizqi mengatakan, perempuan-perempuan Dayak pedalaman di Kalbar itu ibaratkan emas. Mereka mampu bertahan di pedalaman demi menjaga budaya nusantara. Tidak semua orang, mampu seperti permata-permata borneo ini.
“Kalau diungkapkan dengan satu kata, perempuan Dayak pedalaman Kalbar itu, berharga,” sebutnya.
Tidak sebatas foto, lebih dari itu Rizqi memperkenalkan potret budaya leluhur masyarakat Dayak, terutama perempuan-perempuan yang memegang teguh tradisi diantaranya dengan bertato dan memanjangkan telinga menggunakan anting timah sebagai pemberat.
Mengulik bakatnya di dunia fotografi, ternyata tidak terlepas dari kekagumannya akan budaya. Pada 2009, Rizqi mendapat kabar dari temannya di Kampung Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu, di sana masih banyak Dayak Iban yang bermukim. Padahal, kata dia, dengan arus urbanisasi sangat dimungkinkan keberadaan suku pedalaman akan berkurang.
Maka dari itu, untuk mengetahui keberadaannya Rizqi datang ke kampung yang menjadi pintu masuk menuju Danau Sentarum yang cukup terkenal itu.
“Sampai di sana (Lanjak), saya ditemani kawan. Kawan saya itu lah yang biasanya menerjemahkan bahasa Dayak Iban,” katanya.
Tidak hanya soal bahasa yang menjadi kendala untuk bersosialisasi, lanjut dia. Tapi perilaku pun mesti menyesuaikan lingkungan setempat.
“Karena girang, saya datang langsung foto-foto. Tapi orang sana langsung masuk ke rumah masing-masing,” ucap perempuan berdarah Arab ini.
Menurut penjelasan warga setempat, kata Rizqi, orang-orang tua di Lanjak masih trauma dengan masa penjajahan. “Saat melihat kamera, mereka pikir itu senjatanya penjajah,” ujarnya sembari sedikit tertawa.
Untuk petualangan selanjutnya, Rizqi lebih paham mesti bersikap seperti apa saat berada berada di daerah pedalaman untuk memotret. Sudah tiga kabupaten dia datangi untuk memotret. Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang dan Sanggau.
“Dari tiga kabupaten itu, empat kampung yang saya datangi buat memotret,” sebut Rizqi.
Dalam karyanya, sangat kentara bahwa Rizqi ingin mengatakan bahwa suku Dayak di pedalaman Kalbar itu, tidak primitif sebagaimana anggapan sebagaian orang.
“Hanya menggunakan rotan, mereka bisa membuat takin (tas khas Dayak) yang unik dan cantik. Dengan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar, mereka bisa mengatasi penyakit tanpa harus khawatir efek zat kimia,” kata dia menjelaskan fotonya.
Sebelum tradisi asli suku Dayak di Kalbar terkikis dan mungkin saja hilang, Rizqi ingin fotonya kelak menjadi saksi sejarah, dimana Dayak Kalbar memiliki kearifan lokal yang merupakan khazanah luar biasa.
“Yang masih bertato dan bertelingan panjang, kebanyakan perempuan berusia di atas 70 tahun,” tutur Rizqi. (umar faruq)

1 Response to "Pameran Potret Perempuan Dayak Kalbar"