Perbedaan
keyakinan tidak selalu menjadi alasan bagi setiap orang untuk menjaga jarak
antara satu dengan yang lainnya. Di tengah maraknya kasus intoleransi antar
kelompok mayoritas dengan minoritas, ternyata ada masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai toleransi, sehingga mampu menciptakan kedamaian antara umat yang
berbeda agama di lingkungannya.
Adalah
Desa Sidas, Kecamatan Sengah Temilah, Kabupaten Landak. Enam bulan lalu, tiga
dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Zulkifli, Dwi Surya Atmaja,
dan Ridwan Rosdiawan, melakukan penelitian di desa berpenduduk sekitar 6.788
jiwa ini.
“Penelitian
ini tentang Eksistensi Minoritas Muslim di Tengah Mayoritas Kanayatn, di
delapan dusun Desa Sidas,” kata Satu di antara peneliti, Zulkifli, kepada Suara Pemred, Kamis (3/12).
Dalam
penelitian tersebut, mereka temukan sesuatu yang sangat berharga di tengah
masyarakat Kanayatn. Dimana sesuatu yang menjadi modal sosial untuk hidup
damai, yakni toleransi.
“Di
salah satu keluarga orang Kanayatn, di antara anggota keluarganya ada yang
tidak seagama. Ada yang Katholik, Kristen, dan Islam. Namun toleransi mereka
sangat tinggi. Di setiap perayaan keagamaan, mereka saling berkunjung,” ujar
Zukifli.
Meski
hanya ada tiga masjid di Desa Sidas, kata Zulkifli, umat muslim dapat
menjalankan ibadahnya dengan tenang. Tidak ada gangguan bagi mereka yang
minoritas.
Di
sisi lain, mungkin selama ini ada yang berpikir, jika seseorang tersangkut
masalah adat di komunitas masyarakat Dayak, harus menjalankan hukum sesuai
dengan yang ditentukan. Menyiapkan sesaji yang di antaranya ada barang haram
menurut Islam. Tapi, ternyata itu tidak sepenuhnya benar.
“Jika
tidak bisa memberikan alasan yang rasional, biasanya mereka mengganti dengan
uang. Tapi ada yang mampu mengeluarkan argumentasi yang logis, dan terbebas
untuk mengadakan barang-barang yang haram menurut Islam,” Zulkifli mencontohkan.
Zulkifli
menjelaskan, ada pemahaman bagi masyarakat Dayak. Bahwa orang Dayak yang pindah
ke agama Islam, akan disebut dengan sebutan ‘Melayu’.
“Istilahnya,
‘turun Melayu’ atau ‘menjadi orang laut’,” sebut dia.
Sementara
itu, Kepala Desa Sidas Mateus Tajuin yang diminta menjadi salah satu responden mengatakan,
selama ini dirinya terus berupaya menciptakan dan menjaga kerukunan hidup antar
agama di desanya. Dengan dukungan berbagai komponen masyarakat di sana, baik
pemuka agama maupun tokoh adat, berkomitmen menjaga hubungan ini terus berjalan
baik.
Dengan
sejarah yang dimiliki masyarakat Landak, kata Mateus, sebetulnya tidak sulit
mempertemukan antara masyarakat Dayak dan Melayu, atau orang lebih
mengganggapnya dengan antara Dayak dan Islam.
“Menurut
kepercayaan Dayak di sini, Melayu dan
Dayak itu satu keturunan dari Nek dare Itam, yakni cikal bakal dari Kerajaan
Landak. Jadi dari cerita rakyat ini, sebetulnya menjadi modal untuk mempersatu
kami di Landak ini,” ucapnya. (umar
faruq)
0 Response to "Eksistensi Minoritas Muslim di Tengah Mayoritas Kanayatn"
Post a Comment